Imlek dalam Balutan Dharma
Menyambut imlek, pakaian boleh baru namun tidak bertujuan untuk flexing dalam keluarga ataupun masyarakat. Akan lebih sempurna jika diikut dengan pribadi baru. Pribadi yang penuh metta, karuna, mudita, dan upekkha. Pribadi yang senantiasa hidup berlandaskan ajaran Buddha dan Senantiasa berterima kasih dan bersyukur atas pencapaian (Anguttara Nikaya III, 114).
Imlek adalah perayaan tahun baru bagi masyarakat Tionghoa di seluruh dunia yang didasarkan pada kalender lunar, yaitu kalender bulan. Perayaan ini sangat penting dalam budaya Tionghoa dan dirayakan dengan berbagai tradisi, seperti makan malam bersama, memberikan angpao (amplop merah berisi uang), bersih-bersih rumah, beli pakaian baru, dan berbagai kegiatan lainnya yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan. Secara umum, perayaan Imlek berfokus pada perayaan kemakmuran, menyambut awal tahun baru, serta membersihkan diri dari energi negatif tahun lalu. Ada banyak legenda yang berhubungan dengan Imlek, salah satunya adalah cerita tentang Nian, seekor makhluk jahat yang menakuti orang-orang, namun bisa diusir dengan suara keras dan warna merah.
Bagaimana umat Buddha bersikap terhadap tradisi dan kebudayaan atas perayaan Imlek?
Sebagai umat Buddha Indonesia tentunya turut berbahagia dengan perayaan imlek yang dinyatakan sebagai Hari Raya Agama Kong Hu Cu. Namun demikian siapa saja yang berkenan merayakan Imlek, tentu tidak masalah. Melanjutkan tradisi keluarga, melakukan perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka (orang tua) meninggal adalah pesan Buddha Gotama kepada pemuda Sigala di Rajagaha (Sigalovada Sutta).
Secara keseluruhan, agama Buddha memainkan peran penting dalam merawat budaya lokal. Melalui prinsip Upaya Kausalya atau skillful means, Buddhisme menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan budaya lokal sambil mempertahankan ajaran dan nilai-nilainya. Ini memungkinkan Buddhisme untuk merangkul dan memelihara budaya lokal, menjadikannya agama yang tidak hanya memiliki relevansi universal, tetapi juga mampu memainkan peran dalam pelestarian dan pengembangan budaya di seluruh dunia (Sri Lestari, 2023).
Kita dapat menjadikan perayaan Imlek sebagai bentuk upaya melestarikan Dharma. Ada kebiasaan warga Tionghoa dalam menyambut perayaan imlek, yaitu memberikan sejumlah uang kepada orang tua, sesuai kemampuan anak, karena sebagai nenek atau kakek tentunya akan berbahagia dapat memberikan angpao kepada cucu nya atau anaknya. Ini adalah sebuah bentuk perhatian, bakti, dan menyokong kehidupan orang tua dari sisi tradisi, sesuai apa yang ada di Sigalovada Sutta. Selain itu, berbagi angpao kepada anak-anak, kerabat atau sahabat yang belum menikah adalah bentuk pelaksanaan kerelaan, dana tentunya dilakukan dengan penuh kebahagian dan ketulusan.
Dana yang adalah salah satu dasar perbuatan baik (punnakiriya vatthu) yang berati memberi atau bermurah hati. Ada dua jenis Dana yaitu cetana-dana dan vatthu-dana (materi). Cetana inilah yang menghasilkan akibat yang bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan mendatang.
Dalam Peta Vatthu, dana ibarat menabur benih, penerima adalah ladang, penderma adalah petani, derma adalah benih yang ditabur, dan manfaat masa depan adalah panennya. Yang perlu kita perhatikan adalah dana harus dilakukan dengan pikiran dan kehendak yang berbahagia, kehendak sebelum memberi, kehendak saat memberi, dan kehendak setelah memberi (Abhiddhamma Sehari-hari). Derma yang dilakukan hanya semata mata untuk mencapai kebahagian tertinggi yaitu Nirwana, inilah seorang dermawan sejati, tidak ada niat, kehendak transaksional atas derma yang diberikan.
Selain dana, ajaran Buddha yang dapat kita lestarikan dalam perayaan imlek adalah harmonis dalam kehidupan. Kehidupan yang penuh cinta (metta), empati (karuna), turut bergembira atas kebahagian atau keberhasilan orang lain (mudita), dan keseimbangan batin (uppekha). Sudah menjadi hal yang wajar sebuah keluarga yang terpencar ke berbagai penjuru dunia, akan kembali (balik kampung) menjelang perayaan imlek untuk makan malam bersama, makan malam reuni (Tuányuán fàn - 团圆饭 ) atau (年夜飯 – makan malam tahun baru).
Dewasa ini aktifitas itu dapat dilaksanakan di mana saja; rumah, restoran. Urun makanan antara keluarga dapat menjadi opsi yang berdampak membangun kebersamaan dan harmonis. Sebagai orang tua tentunya sangat berharap anak-anak nya dapat hidup rukun harmonis. Makan malam reuni, dilanjutkan dengan sembahyang leluhur (boleh saja mengikuti kebaktian di cetiya / wihara) dapat menjadi wadah rekonsiliasi antar keluarga (ceas fire). Dengan harapan menyambut imlek dengan penuh kebahagian, kesehatan, dan kemakmuran. Disatu sisi, ada harapan-harapan yang tidak akan di dapatkan hanya dengan berdoa, begitu pesan Buddha dalam Pattakamma Sutta.
Untuk memelihara kerukunan, Buddha memberi petunjuk berupa “Enam Faktor yang Membawa Keharmonisan (Saraniyadhamma)”. Keenam faktor itu adalah: (1) cinta kasih diwujudkan dalam perbuatan; (2) cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata; (3) cinta kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran, dengan memiliki iktikad baik terhadap orang lain; (4) memberi kesempatan kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperoleh secara benar; (5) di depan umum atau pun pribadi ia menjalankan kehidupan bemoral, tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan orang lain; (6) di depan umum atau pun pribadi, memiliki pandangan yang sama, yang bersifat membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pandangan (Saraniya Dhamma Sutta).
Menyambut imlek, pakaian boleh baru namun tidak bertujuan untuk flexing dalam keluarga ataupun masyarakat. Akan lebih sempurna jika diikut dengan pribadi baru. Pribadi yang penuh metta, karuna, mudita, dan upekkha. Pribadi yang senantiasa hidup berlandaskan ajaran Buddha dan sSenantiasa berterima kasih dan bersyukur atas pencapaian (Anguttara Nikaya III, 114).
Selamat merayakan imlek. Gōngxǐ fācái, wànshì rúyì (恭喜发财, 万事如意 )
Sumber Referensi :
1. Ashin Janakabhivamsa, Abhidhamma Sehari-hari
2. Khrisnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha Dharma
3. Sri Lestari, Buddhisme dan Budaya Lokal, 2023. Jurnal Ilmiah Kampus: Sati Sampajanna
4. https://suttacentral.net/an3.114/id/anggaralang=en&reference=none&highlight=false
5. https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/sigalovada-sutta-2/
6. https://www.dhammatalks.org/books/ChantingGuide/Section0028.html